Kemarin malam dikejutkan ucapan si anak yang tiba2 nyeletup perkataan meso. Kisah ini bermula ketika saya sedang memainkan HP bersama si anak. Awalnya si anak ini berucap sebagaimana mestinya. Yakni celotehan2 wajar yang biasa saya dengar setiap harinya. Namun, ada satu kata yang tiba2 keluar ketika permainan yang saya mainkan kalah. Kata yang terucap adalah "jan***" dengan nada lirih.
Sontak saya penasaran, dan langsung mengintrograsi dari mana dia belajar kata itu. Proses intrograsi cukup alot, hingga sang ibu pun turut mengintrograsi dia. Tentu bahasa intrograsi yang kami gunakan bukan kalimat2 yang menyakiti atau kalimat2 kasar. Namun tetap pada tujuan bagaimana caranya agar dia bersedia mengatakan siapa yang mengajari si anak ini. Setelah beberapa lama bercakap, akhirnya dia menceritakan bahwa dia memperoleh kata itu dari teman kampung yang biasa bermain dengan dia.
Merasa kesal dengan perilaku anak kampung yang mulai memberikan pengaruh buruk pada si anak, saya pun berfikir untuk membuat keputusan terbaik. Karena kejadian ini bukan pertama, sudah beberapa perilaku buruk dibawa si anak sebagai akibat pergaulannya dengan anak2 sekitar yang kurang kontrol. Untuk perilaku ucapan ini masih mending, ada yang yang lebih buruk lagi perilaku yang dibawa ke rumah selepas dia bermain dengan teman2 tersebut. Akhirnya, berdasar besarnya kemungkinan perilaku2 buruk yang bakal mewarnai si anak akhirnya saya memutuskan agar si anak tidak lagi bermain dengan teman2 kampung yang sering memberikan pengaruh buruk. Keputusan tersebut saya ambil, juga dengan pertimbangan sifat si anak ini yang masih mudah meniru perilaku dari orang lain apa lagi orang yang dia senangi (dalam kontek teman). Keputusan ini saya sampaikan di depan si anak dan juga istri agar lebih mengawasi pergaulan si anak.
Treatmen ini masih on progress, karena baru diambil keputusan tersebut kemarin malam,
-----------------
Ulasan pengalaman tersebut:
Kejadian di atas adalah bagian dari dinamika mendidik anak. Di mana posisi saya sebagai ayah bersama si ibu senantiasa membuat hubungan yang dekat dengan si anak. Dan ada keuntungan yang besar ketika si ibu tidak bekerja (menjadi ibu rumah tangga) yakni dengan menciptakan hubungan yang dekat dengan si anak, bisa mengetahui sejak dini perilaku buruk yang dia pelajari dari dunia di luar lingkungan keluarga. Serta bisa memberikan tindakan antisipasi dan benteng terhadap anak dari hal2 buruk tersebut.
Pertanyaannya, ketika anak mempelajari perilaku buruk apakah si anak bisa di justifikasi bahwa anak tersebut nakal? Jawabannya belum, bergantung bagaimana orang tua memberikan kontrol dan nasihat yang baik agar si anak menghentikan perilaku buruk tersebut. Hal ini selaras dengan ajaran dalam Islam bahwa, ketika masih kecil anak tidak menanggung dosa. Tapi seandainya dosa itu bisa ditanggungkan, maka orang tualah yang paling bertanggung jawab atas terbentuknya dosa yang dilakukan si anak. Karena anak kecil belum tahu hitam putih sebuah perilaku. Dia masih baru belajar tentang berbagai macam perilaku, entah baik atau buruk semuanya dia pelajari. Nah disinilah peran orang tua, untuk memilah dan memilihkan perilaku yang baik kepada si anak, sedang perilaku buruk di informasikan bahwa perilaku itu tidak boleh dilakukan.
Tidak bisa saya bayangkan, apabila saya SIBUK bekerja dan tidak punya waktu untuk dekat dengan ANAK. Begitupula, si IBU juga SIBUK BEKERJA sehingga tidak ada waktu untuk memberikan nasihat kepada si ANAK. Maka, semua perilaku buruk yang dipelajari si anak dari lingkungan kampung pastilah menumpuk sedikit demi sedikit. Kok bisa? Mari saya beri penjelasan sederhana dengan teori kemungkinan:
Kita mulai dari hari senin:
Senin - sabtu = kedua orang tua sibuk bekerja, pulang malam. Sudah pasti intensitas berkomunikasi hanya bla bla yang minim sekali.
Minggu, belum tentu bisa berbincang secara utuh dengan anak. Adapun melaksanakan acara liburan keluar kota atau di tempat2 hiburan manapun. Justru perilaku buruk anak, kecil kemungkinan untuk keluar. Kenapa? pertama dia di tempat yang menyenangkan bagi si anak, kecil kemungkinan perilaku buruk yang dia dapat dari kampung untuk keluar. kedua, dia keluar bersama kedua orang tua ditambah dia berada di dunia "asing" jelas anak kecil akan canggung untuk mengekspresikan perilaku buruk. Jika sampai benar2 keluar, justru hal itu patut diduga kuat perilaku tersebut telah MENDARAH DAGING. Apalagi di tempat rekreasi (hiburan) tidak ada kondisi yang membuat dia terancam atau semuanya menyenangkan, pasti tidak akan keluar perilaku buruk tersebut. Singkat cerita jika hari minggu tersebut digunakan rekreasi sampai ashar, maka pulang menjelang maghrib pasti kondisi sudah lelah ujung2nya si anak tertidur karena kelelahan sesampainya di rumah. Pertanyaannya? Di hari minggu ini, di bagian mana yang memungkinkan anak mengeluarkan perilaku buruk yang mungkin dia dapat dari lingkungan luar?
Sehingga disimpulkan senin-minggu setiap minggunya kemungkinan si anak untuk mengekspresikan perilaku buruk tidak muncul karena kesibukan masing2. Sehingga, jika :
senin - minggu (pertama) : anak belajar bicara kotor. > karena tidak ada momen berekspresi terhadap orang tua, maka ilmu ini disimpan dalam benak si anak.
senin - minggu (kedua) : anggap anak tidak belajar perilaku buruk. Namun perilaku buruk minggu lalu masih tersimpan dan jika tidak tertangani maka akan menguat pada diri anak.
senin - minggu (ketiga) : anggap anak mendapat pembelajaran perilaku buruk berikutnya. Sudah pasti, jika rutinitas tidak sehat berulang. Perilaku buruk yang lalu semakin kuat, dan dia menyimpan perilaku buruk yang baru.
Hal ini terulang terus menerus hingga orang tua menyadarinya (mengetahuinya), entah tahu dengan sendirinya atau dari orang lain. Karena banyak kasus, orang tua baru sadar, LO ANAKKU KOK DADI SEPERTI INI? (banyak perilaku buruk, bahkan ada yang sudah memuncak)
Pertanyaannya jika, saya bersikukuh si Ibu harus bekerja. Sedang efek buruknya seperti kemungkinan di atas. Lalu, bagaimana SAYA HARUS MEMPERTANGGUNG JAWABKAN AMANAH INI DI HADAPAN ALLAH?
Maka dari itulah, semenjak kelahiran anak ke dua. Si Ibu harus berada di RUMAH, dan saya mengatakan dengan terang2an, SAYA BERINVESTASI BESAR KEPADA ANAK2. Investasi saya tidak berupa HARTA tapi berupa PENDIDKAN terbaik DARI KASIH SAYANG KELUARGA (ORANG TUA SEUTUHNYA).
Demikian tulisan ini saya buat semoga bisa diambil hikmahnya. Sekali lagi tulisan ini saya buat, bukan untuk pamer atau tujuan jahat lain, melainkan dijadikan share pengalaman yang selama ini kami alami.